Lowongan Kerja Skripsi Gratis Jurnal Online STMIK AKBA STMIK AKBA YouTube LinkedIn Facebook Twitter Google+ RSS Desain Login

TORAJA NEWS


MAYAT BERJALAN DARI TANATORAJA


MO--Mayat berjalan, tidak hanya menjadi cerita dari Mamasa. Rupanya di Toraja pun ada cerita-cerita yang sama. Berikut ini cerita seorang blogger, pengalamannya menyaksikan mayat berjalan.
Sebagai orang Toraja asli, saya sangat sering ditanya oleh teman2 tentang uniknya kebudayaan Tana toraja khususnya tentang fenomena mayat berjalan. saya sendiri lahir dan tumbuh besar di Tana Toraja sehingga saya mengetahui tentang adat & kebudayaan di Tana Toraja walaupun tidak menguasai secara keseluruhan tentang asal usul dan segala macam tetek bengek adat Toraja.
Cerita mayat berjalan sudah ada sejak dahulu kala. ratusan tahun yang lalu konon terjadi perang saudara di Tana toraja yakni orang Toraja Barat berperang melawan orang Toraja Timur. dalam peperangan tersebut orang Toraja Barat kalah telak karena sebagian besar dari mereka tewas, tetapi pada saat akan pulang ke kampung mereka seluruh mayat orang Toraja Barat berjalan, sedangkan orang Toraja Timur walaupun hanya sedikit yang tewas tetapi mereka menggotong mayat saudara mereka yang mati, karena kejadian tersebut maka peperangan tersebut dianggap seri. pada keturunan selanjutnya orang-orang Toraja sering menguburkan mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang kuburnya.
Fenomena “Mayat berjalan” itu saya sendiri pernah menyaksikannya secara langsung. kejadian tersebut terjadi sekitar tahun 1992 (saya baru kelas 3 SD). pada saat itu di desa saya ada seorang bernama Pongbarrak yang ibunya meninggal. seperti adat orang Toraja sang mayat tidak langsung dikuburkan tetapi masih harus melalui prosesi adat penguburan (rambu solo’). saat itu setelah dimandikan mayat sang ibu diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum dimasukkan kedalam peti jenasah. pada malam ketiga seluruh keluarga berkumpul untuk membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti. saat itu saya duduk di teras rumah maklum anak-anak jadi suka mondar mandir. namun setelah rapat selesai (sekitar jam 10 malam), tiba-tiba ada kegaduhan dalam rumah dimana beberapa ibu-ibu berteriak -teriak. karena penasaran saya berusaha melongok ke dalam rumah dan astaga sang mayat berjalan keluar dari dalam kamar, kontan saja saya dan teman2 saya berteriak histeris dan berlari menuruni tangga. saya berlari dan mendapatkan ayah saya sambil  histeris ketakutan. setelah itu saya langsung dibawa pulang kerumah oleh ayah dan  saya tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Keesokan harinya kejadian tersebut rupanya cukup heboh diperbincangkan oleh warga dan informasi yang saya dengar bahwa Pongbarrak yang melakukan hal tersebut. konon dia iseng aja untuk membuat lelucon pada malam itu.
Pada zaman sekarang sudah sangat jarang orang Toraja yang mempraktekkan hal tersebut walaupun masih banyak generasi yang memiliki ilmu seperti itu. akan tetapi mereka masih sering mempraktekkannya pada binatang seperti ayam atau kerbau yang diadu dalam keadaan leher terputus. Binatang seperti kerbau yang sudah dipotong kepalanya dan dikuliti habispun, masih bisa dibuat berdiri dan berlari kencang, mengamuk kesana sini!


RAMBU SOLO' PEMAKAMAN ADAT TANA TORAJA


Siapa yang tak kenal dengan Tana Toraja, negeri dengan begitu banyak adat istiadat dan tempat tujuan wisata yang sangat indah. Tana Toraja, berjarak 300 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan, menyimpan berbagai macam adat dan budaya leluhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan tetap lestari hingga kini.
Setiap keturunan suku Toraja, di manapun berada, wajib menjunjung tinggi akar budaya nenek moyang mereka. Hingga kini, anak cucu keturunan suku Tana Toraja yang berada di luar negeri dan berbagai wilayah di Indonesia, akan tetap melakukan tradisi yang sama yang dilakukan oleh nenek moyang mereka ribuan tahun yang lalu.
Ketaatan mereka dalam menjalankan adat istiadat dan budaya peninggalan nenek moyang mereka hingga kini, menarik banyak wisatawan asing dan dalam negeri untuk mengunjungi Tana Toraja setiap tahunnya. Tana Toraja, kini menjadi salah satu daerah wisata andalan yang dimiliki oleh Sulawesi Selatan. Berbagai upacara adat yang dimiliki oleh Tana Toraja dan diselenggarakan setiap tahun, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan asing.
Ada berbagai upacara adat di Tana Toraja, salah satunya adalah Rambu Solo, upacara pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Acaranya terdiri dari Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’. Selain itu, dikenal juga upacara Ma’nene’ dan upacara Rambu Tuka’.
Upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ diiringi dengan seni tari dan musik khas Toraja selama berhari-hari. Rambu Tuka’ adalah upacara memasuki rumah adat baru yang disebut Tongkonan atau rumah yang selesai direnovasi satu kali dalam 50 atau 60 tahun. Upacara ini dikenal juga dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
Sementara itu, Rambu Solo’ sepintas seperti pesta besar. Padahal, merupakan prosesi pemakaman. Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah meninggal. Orang yang meninggal dianggap sebagai orang sakit sehingga harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, dan minuman, serta rokok atau sirih.
Tidak hanya ritual adat yang dijumpai dalam upacara Rambu Solo’. Berbagai kegiatan budaya menarik pun ikut dipertontonkan, antara lain Mapasilaga Tedong (adu kerbau) dan Sisemba (adu kaki).
Rambu Solo’ akan semakin meriah jika yang meninggal adalah keturunan raja atau orang kaya. Jumlah kerbau dan babi yang disembelih menjadi ukuran tingkat kekayaan dan derajat mereka saat masih hidup. Di Rantepao, Anda bisa menyaksikan upacara Rambu Solo yang meriah.
Pembangunan makan bagi keluarga yang meninggal dan penyelenggaraan Rambu Solo’ biasanya menelan dana ratusa juta rupiah hingga miliaran. Tak heran, karena banyak sekali ritual adat yang harus mereka jalankan dalam prosesi pemakaman tersebut.
Salah satu Rambu Solo’ yang besar, berlangsung hingga tujuh hari lamanya. Yang seperti itu disebut Dipapitung Bongi. Hewan yang harus dipotong saja tak kurang dari 150 ekor, yang terdiri dari kerbau dan babi. Dagingnya akan mereka bagikan kepada penduduk desa sekitar yang membantu proses Rambu Solo’.
Upacara yang menyedot perhatian turis asing dan wisatawan lokal adalah  adu kerbau atau yang biasa disebut Mapasilaga Tedong. Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau terlebih dahulu. Kerbau adalah hewan yang dianggap suci bagi suku Toraja. Yang bule atau albino harganya akan sangat mahal, mencapai ratusan juta rupiah. Ada pula kerbau yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut salepo dan hitam di punggung (lontong boke).
Prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong adalah kegiatan selanjutnya, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali.
Rambu Solo’ mencerminkan kehidupan masyarakat Tana Toraja yang suka gotong-royong, tolong-menolong, kekeluargaan, memiliki strata sosial, dan menghormati orang tua. Mengenai adu kerbau, ia mengakui di satu sisi menjadi daya tarik pariwisata, namun di sisi lain banyaknya kerbau, terutama kerbau bule (Tedong Bonga), yang dipotong akan mempercepat punahnya kerbau. Apalagi, konon Tedong Bonga termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang merupakan spesies yang hanya terdapat di Toraja. (Kredit Foto: torajacybernews.com)

TANA TORAJA : NEGRI ORANG MATI YANG HIDUP


Gunung Nona

Segeralah bangun matahari, bangkitlah dari peraduan-mu sinarilah Indonesia-ku dan akan kulihat elok nan indahnya alam Tanah Pertiwi di Tana Toraja. 
Saya terbangun dari tidur malam, pagi ini matahari begitu semangatnya bersinar seakan tak peduli bahwa umurnya sudah tidak tua lagi, cahayanya yang begitu kuat dan terang inilah yang seakan-akan menjadi baterai baru saya untuk bersiap menghadapi perjalanan panjang dan melelahkan menuju Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Toraja, inilah tujuan wisata saya pada liburan akhir Desember tahun lalu (2009), saya memang sudah lima kali bertamu di kampung halaman ayah saya ini, tapi entah kenapa negeri orang mati ini salalu menghidupkan ingatan saya tentang pengalaman akan pesona panorama alamnya dan keunikan adat-istiadat yang membuat saya ingin kembali ke negeri ini.

Memang perjalanan panjang yang cukup melelahkan dan kalau fisik tidak kuat, maka tak jarang akan membuat kepala serasa berputar-putar dari posisi aslinya saat jalan yang berliku menjadi teman di perjalannan saya. Tapi beruntunglah saya berjumpa dengan si nona yang baik hati, dengan keramahannya saya diperbolehkan untuk beristirahat di warung-warung yang berdiri di depan matanya. Ya! Gunung Nona. inilah salah satu pemandangan yang sangat menarik ketika kita melakukan perjalanan ke tanah toraja. Si nona terletak di desa Bambapuang , kab. Enrekang, di tempat inilah saya beirsitirahat beberapa waktu, meminum secangkir kopi hangat sembari menikmati tubuh indahnya. Entah kenapa gunung ini disebut Gunung Nona, yang pasti pertanyaan ini saya biarkan saja berlalu karena saya yakin masih banyak pertanyaan yang menyapa saya ketika saya tiba di Tana Toraja.

Ada yang bilang bahwa wisata yang menarik adalah ketika mata, hati dan telinga kita bisa merasakan merdunya alunan suara ombak pantai, ada juga yang bilang bahwa wisata yang unik adalah ketika mata kita melihat bangunan-bangunan unik dan tua berdiri kokoh di hadapan kita, Tapi sayang, di Toraja semua ini hanya bisa diimajinasikan saja, karena tidak ada obyek wisata seperti itu di tempat ini! Lantas apa yang menarik dan unik di Tana Toraja?
Dua Sejoli di pemakaman Londa

Toraja: Negeri orang mati yang hidup. 
Itulah julukan yang orang-orang berikan setelah berkunjung di Tana Toraja. Pesonanya bukan terletak saat manusia terkesima melihat matahari kembali ke peraduanya, melainkan saat tengkorak-tengkorak manusia memperlihatkan pesonanya dan berpuluh-puluh kerbau dan babi dengan rela disembelih saat upacara kematian demi sebuah ritus kehidupan.
suasana pada pesta rambu solo'

Tiga sekawan: Londa, Lemo dan Tampang Allo
Kalau di Bali ada Kuta, Sanur dan Tj. Benoa sebagai maskot wisata pulau seribu candi ini, maka  Londa, Lemo dan Tampang Allo lah yang menjadi salah satu magnet kuat yang menarik wisatawan datang ke toraja.  Tapi disini tidak ada sunset, ombak, dan pasir putih pantai. Ya! Londa, Lemo dan Tampang Allo adalah wisata pemakaman yang sangat terkenal hingga ke dunia internasional. Mereka adalah tempat pemakaman dinding berbatu dan terdapat gua-gua yang dipenuhi dengan peti mati dan tulang-belulang manusia didalamnya. Jangan takut untuk masuk kedalam, karena mereka semua akan menyambut kalian dengan ramah dan senang hati asal tidak sekali-sekali punya keinginan untuk mengambil tulang belulang mereka karena mereka tidak suka akan hal itu. 



Pemakan di Londa
Pemakaman di Lemo


Peti Mati (suasana di dalam gua pemakaman Londa)


Tulang-belulang kepala manusia

Dibantai demi sebuah ritus kehidupan dan strata sosial. 
Datanglah di bulan Juni, Juli atau Desember dan saksikanlah pembantaian kerbau dan babi secara kolosal oleh para penjagal, inilah saran dan tip saya ketika kamu ingin berkunjung ke Tana Toraja. Di bulan-bulan inilah kita dapat melihat bagaimana unik dan sakralnya adat-istiadat ditempat ini. Upacara adat kematian (Rambu Solo') salah satunya. Upacara kematian (Rambu Solo') mewajibkan keluarga yang ditingalkan membuat pesta sebagai tanda penghormatan kepada yang meninggal. Pesta ini mulai berlangsung satu malam bahkan hingga tujuh malam dan menyembelih hingga berpuluh-puluh ekor kerbau dan babi tergantung strata sosial masyarakat Toraja.

Kerbau belang (dalam bahasa toraja: Tedong Bonga) harganya sekitar 200-250 juta
Toraja memang selalu membuat saya terpukau dan kagum dengan apa yang mereka miliki. Logika saya sempat menghilang ketika tanya menyelimuti saya saat wisata pemakamannya, upacara adat kematiannya, alamnya, keramahan masyarakatnya dan rumah adatnya menampilkan pesonanya masing-masing. Sungguh pengalaman yang tidak akan pernah hilang dari ingatan dan hati kecil saya. Dan sekali lagi saya berkata denga lantang . . .

TERIMAKASIH TANA TORAJA, SAYA BERSYUKUR KARENA SAYA TELAH LAHIR DI TANAH PERTIWI! 



KE'TE KESU. Perumahan adat Toraja asli
Tongkonan, Rumah adat Toraja

Tidak ada komentar: